Silakan masukan email dan password untuk masuk ke akun pribadi anda.
Tidak punya akun? Daftar
Kenaikan nilai tanah yang terjadi akibat pembangunan infrastruktur dan perubahan tata ruang merupakan potensi penerimaan publik yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam sistem fiskal Indonesia. Studi ini menganalisis keterbatasan yuridis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mendukung penerapan pemungutan berbasis kenaikan nilai tanah (Land Value Capture). Dengan menggunakan pendekatan analisis hukum dan perbandingan internasional, penelitian ini menemukan bahwa instrumen pajak yang berlaku saat ini, seperti PBB-P2 dan BPHTB, belum dirancang untuk menangkap nilai tambah tanah yang muncul dari intervensi publik. Ketiadaan dasar hukum yang secara eksplisit mengatur pungutan atas kenaikan nilai tanah menyebabkan Indonesia tertinggal dari berbagai negara yang telah memiliki mekanisme hukum yang kuat, seperti Kolombia, Brasil, Singapura, dan Jepang. Pembatasan lain yang ditemui meliputi sistem daftar tertutup pajak daerah yang menghambat inovasi fiskal, keterbatasan tarif dan metode penilaian nilai tanah, fragmentasi kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta tidak adanya integrasi antara kebijakan fiskal dan perencanaan tata ruang. Akibatnya, pemerintah belum mampu menginternalisasi manfaat ekonomi dari pembangunan yang meningkatkan nilai tanah dan belum dapat memastikan bahwa penerimaan daerah mencerminkan distribusi manfaat secara adil. Penelitian ini merekomendasikan reformasi hukum yang mencakup penguatan instrumen pajak daerah, penyediaan dasar hukum bagi pungutan khusus atas kenaikan nilai tanah, pengembangan mekanisme koordinasi antarpemerintah, serta integrasi antara sistem perpajakan dan keputusan tata ruang. Reformasi tersebut diperlukan untuk menciptakan sistem pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan sejalan dengan prinsip keadilan spasial.
Tulisan ini berargumen bahwa desain rancang bangun hukum (“politik hukum”) mengenai pembangunan di Indonesia telah keliru. Hal ini diindikasikan oleh: (1) aneka konflik yang timbul antara negara dan masyarakat pada isu pembangunan yang diusung pemerintah; (2) kekerasan yang dilakukan oleh aparat untuk memaksakan agenda pembangunan yang diusung pemerintah; (3) situasi pemiskinan (menjadi semakin miskin) yang dirasakan oleh masyarakat yang terdampak pembangunan; dan (4) minimnya norma hukum serta peran peradilan dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terdampak ketika berhadapan dengan pembangunan yang menjadi agenda pemerintah. Tulisan ini juga menyinggung rujukan kuantitatif yang menunjukkan bahwa dewasa ini kelompok kaya semakin kaya, sedangkan kelompok miskin semakin tertekan. Penyebab aneka masalah di atas adalah Presiden selaku pemegang kekuasaan administrasi/eksekutif seakan menjadi penafsir makna pembangunan yang paling otoritatif. Lalu, seolah-olah di mata hukum penafsiran tersebut diperkenankan untuk dipaksakan kepada masyarakat dengan selimut konsep sumir bernama “pembangunan untuk kepentingan umum”. Pihak lain, seperti masyarakat terdampak, seakan tidak relevan untuk memiliki pendapat berbeda. Maka, tulisan ini mengingatkan kembali bahwa hakikat pembangunan adalah memperluas pilihan masyarakat; memastikan bahwa tidak boleh ada pihak yang ditinggalkan atau bahkan dirugikan akibat pembangunan, sementara ada pihak lain yang diuntungkan. Hakikat pembangunan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu dan keterkungkungan, seperti kemiskinan, tirani kekuasaan, minimnya kesempatan ekonomi, deprivasi sosial, serta keterbatasan fasilitas umum. Norma hukum dengan segenap pranata kelembagaannya tidak sepatutnya melegitimasi model pembangunan yang disebut di awal. Model pembangunan kedualah yang sepatutnya menjadi politik hukum pembangunan Indonesia.
Penjaminan pemerintah merupakan salah satu instrumen fiskal strategis yang dapat berperan sebagai katalisator percepatan pembangunan infrastruktur publik di Indonesia dalam konteks adanya dinamika kebutuhan pembiayaan, keterbatasan APBN, serta meningkatnya risiko global. Bab ini menyoroti urgensi mobilisasi pendanaan non-APBN melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan pembiayaan kreatif lainnya sebagaimana diarahkan dalam RPJMN 2025–2029. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis telaah literatur, regulasi, dan dokumen kebijakan, bab ini mengkaji: (1) rasionalitas dan urgensi penjaminan pemerintah dalam lanskap risiko fiskal dan pasar yang semakin kompleks; (2) peran dan kontribusi PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) sebagai satu-satunya Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) dan Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan; serta (3) dinamika regulasi, urgensi perluasan mandat penjaminan kredit dan agenda penguatan kelembagaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa penjaminan pemerintah berfungsi tidak hanya sebagai alat mitigasi risiko, melainkan juga sebagai mekanisme ring-fencing APBN. Penjaminan pemerintah juga dapat memperkuat tumbuhnya pembiayaan proyek infrastruktur dan sektor strategis lainnya (antara lain energi, transportasi, air minum, telekomunikasi, pertahanan, dan ketahanan pangan). Evolusi kebijakan penjaminan dari pascakrisis 1997/1998 hingga fase proyek strategis seperti Jalan Tol Trans Sumatera, Palapa Ring, SATRIA-1, dan Ibu Kota Nusantara menunjukkan pergeseran peran penjaminan dari sekadar instrumen pengelolaan risiko proyek menjadi pilar arsitektur pembiayaan pembangunan nasional. Namun, efektivitasnya masih terkendala oleh fragmentasi regulasi, belum kuatnya dasar hukum yang bersifat lintas sektor, desain skema regres dan tata kelola kewajiban kontinjensi yang belum optimal, serta ambiguitas status kelembagaan BUPI sebagai perpanjangan tangan fiskal negara. Tulisan ini merekomendasikan penguatan kerangka hukum dan kelembagaan penjaminan, harmonisasi regulasi dan prosedur lintas sektor, serta pengembangan skema penjaminan yang lebih adaptif dan terintegrasi dalam strategi pembiayaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia menghadapi tantangan fundamental, yaitu keterbatasan fiskal pemerintah untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi solusi strategis, namun implementasinya terhambat oleh konstruksi hukum alokasi risiko yang belum koheren. Penelitian ini mengangkat isu kritis terkait kegagalan beberapa proyek KPBU yang mengindikasikan bahwa regulatory framework KPBU di Indonesia belum mampu mengantisipasi dinamika kontrak yang bervariasi. Penelitian ini menjawab dua pertanyaan utama, yaitu bagaimana konstruksi normatif dan kontraktual alokasi risiko KPBU dalam kerangka hukum Indonesia, dan sejauh mana kerangka tersebut mampu mengantisipasi kompleksitas dan variasi dinamika kontrak. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan lima pendekatan, yakni konseptual, perundang-undangan, historis, komparatif, dan studi kasus pada Proyek SPAM Bandar Lampung dan Jalan Tol Krian–Legundi–Bunder–Manyar. Penelitian ini mengungkap bahwa meskipun Perpres 38/2015 dan Permen Bappenas 7/2023 telah mengatur prinsip alokasi risiko, implementasinya mengalami: (1) miskonsepsi penuangan alokasi risiko dalam Perjanjian KPBU berdasarkan prinsip Value for Money; (2) kekosongan standar nasional risk allocation matrix; (3) tumpang tindih regulasi KPBU dalam sistem hukum nasional; (4) perlunya penguatan peran institusi penjamin; serta (5) terbatasnya kapasitas kelembagaan PJPK, terutama PDAM sebagai pelaksana KPBU sektor air minum. Analisis dengan teori law as integrity menunjukkan perlunya integrasi prinsip Value for Money, efisiensi risiko, dan kepastian hukum dalam seluruh peran KPBU. Penelitian ini merekomendasikan: (1) rekonstruksi hukum yang mengatur KPBU untuk menetapkan parameter alokasi risiko; dan (2) Kementerian Keuangan mengambil peran lebih besar dengan menerbitkan Matriks Alokasi Risiko KPBU sebagai standar nasional untuk menekan potensi adanya contingent liabilities yang excessive. Pengalokasian risiko diarahkan lebih adaptif, yakni didasarkan pada kontrol otoritas, kapabilitas teknis, dan daya dukung fiskal, bukan sekadar kelaziman praktik global. Rekomendasi strategis penelitian ini adalah bahwa rekonstruksi hukum alokasi risiko dapat meningkatkan bankability proyek KPBU dan kepastian pengalokasian risiko, serta meminimalisasi contingent liabilities pemerintah. Dengan demikian, kerangka regulasi KPBU diharapkan lebih adaptif, kredibel, dan akuntabel sehingga dapat mendukung pembangunan infrastruktur yang inklusif.
Bercermin pada preseden proyek pembangunan di Indonesia, eksternalitas risiko sosial perlu menjadi sorotan karena berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya bagi masyarakat yang terdampak langsung. Adapun Acuan Alokasi Risiko 2024 yang disusun PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia memasukkan risiko sosial dan budaya lokal sebagai bagian dari risiko operasi yang dibebankan kepada badan usaha. Potret penggusuran, hilangnya mata pencaharian masyarakat, hingga pelibatan aparat keamanan yang cenderung represif menunjukkan indikasi bahwa badan usaha tidak cukup kapabel melaksanakan mitigasi risiko sosial. Alih-alih mencari pihak lain untuk dibebani risiko sosial, tujuan utama penelitian ini adalah menawarkan pendekatan baru melalui internalisasi eksternalitas risiko sosial dengan menjadikan masyarakat pemilik tanah sebagai pihak yang dilibatkan dalam tata kelola KPBU melalui inbreng aset tanah. Tanah milik masyarakat terdampak dihimpun dalam sebuah koperasi sebagai representasi langsung dalam pembahasan perjanjian KPBU, pembentukan Special Purpose Vehicle (SPV), hingga Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Intervensi tata kelola tersebut mereformasi penyusunan perjanjian dan RUPS KPBU sebagai common ground bagi badan usaha, pemerintah, dan masyarakat terdampak untuk mengendalikan seluruh potensi eksternalitas risiko sosial, dengan membuka fleksibilitas negosiasi sejak pre-contract stage dibandingkan post-contract stage yang cenderung kaku dan tidak membuka ruang kompromi. Pendekatan ini mengubah mitigasi risiko sosial yang semula berupa sosialisasi, program pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat yang bersifat pasif dan top-down, menjadi lebih aktif dan egaliter karena menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pemangku kebijakan dalam seluruh siklus proyek pembangunan KPBU. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan komparatif secara kualitatif terhadap Dutch Diamond Approach sebagai konsep KPBU yang tidak hanya melibatkan pemerintah dan badan usaha, tetapi juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta lembaga pendidikan/riset. Pelibatan dua entitas tersebut sangat krusial untuk menjembatani potensi hubungan asimetris antara masyarakat terdampak dan badan usaha dalam tata kelola KPBU.
Indonesia berkomitmen mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui optimalisasi aset bendungan multiguna Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Skema KPBU menjadi salah satu solusi inovatif pemerintah dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, pelaksanaan proyek-proyek ini terhambat oleh disharmonisasi regulasi lintas sektor pada tahap transaksi. Penelitian ini bertujuan menganalisis urgensi harmonisasi regulasi antara skema pengadaan KPBU di Kementerian PU dan mekanisme pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero). Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan studi kasus pada proyek PLTM Bintang Bano 6,3 MW di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan PLTA Tiga Dihaji 40 di Provinsi Sumatera Selatan, penelitian ini menemukan adanya konflik norma antara Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. Permasalahan utama terletak pada kewajiban negosiasi tarif dalam proses penunjukan langsung pasca penetapan pemenang tender KPBU. Pemenang tender KPBU ditetapkan berdasarkan kontribusi biaya pemeliharaan bendungan tertinggi, namun kemudian dihadapkan pada negosiasi tarif listrik dengan PT PLN yang berorientasi pada harga terendah di bawah Harga Patokan Tertinggi (HPT). Kondisi ini menciptakan paradoks finansial yang menurunkan kelayakan investasi dan menyebabkan stagnasi proyek. Penelitian ini merekomendasikan solusi integratif berupa revisi regulasi untuk mengakomodasi penetapan tarif di awal, pembentukan panitia pengadaan bersama antara Kementerian PU, Kementerian ESDM, dan PT PLN, serta akuisisi biaya pemeliharaan bendungan dalam komponen tarif listrik dan pemberian insentif nilai ekonomi karbon dan dukungan pemerintah. Langkah ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan finansial bagi investor dalam pengembangan proyek KPBU PLTA untuk mendorong capaian transisi energi nasional serta menjamin keberlanjutan fungsi bendungan.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan, menjelaskan, dan menganalisis status serta peran badan hukum publik di Indonesia dalam tataran pembangunan infrastruktur selama dua dekade terakhir (2009–2025). Menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini menyoroti keterbatasan lembaga pemerintah klasikal dalam mengelola infrastruktur dan menelaah kemunculan badan hukum sui generis. Fokus analisis tertuju pada empat entitas utama, yaitu Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Lembaga Pengelola Investasi (INA), Badan Bank Tanah, dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun badan-badan tersebut memiliki organ dan kewenangan khusus yang mendukung sektor infrastruktur, peran mereka masih bersifat parsial dan terbatas sebagai entitas pendukung, bukan sebagai pengelola pembangunan infrastruktur secara menyeluruh. Studi perbandingan dengan Infrastructure Australia dan Te Waihanga (New Zealand Infrastructure Commission) memperlihatkan bahwa Indonesia belum memiliki badan hukum publik independen yang berfungsi spesifik untuk perencanaan dan koordinasi infrastruktur nasional secara komprehensif. Lebih lanjut, keberadaan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dinilai belum efektif menjawab kebutuhan tersebut karena tidak berstatus badan hukum dan rentan terhadap kepentingan politik dalam penentuan prioritas proyek. Oleh sebab itu, penelitian ini merekomendasikan pembentukan badan hukum publik baru yang bersifat teknokratis dan merit-based untuk mengoordinasikan pengembangan infrastruktur nasional secara terintegrasi.
Sejak 2009, pembangunan infrastruktur Indonesia mengalami penguatan kerangka hukum dan kelembagaan, yang dipercepat melalui Program Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, percepatan ini diiringi meningkatnya konflik agraria, terutama dalam proses pengadaan tanah. Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah membentuk Bank Tanah sebagai badan sui generis berdasarkan UU No. 6 Tahun 2023 dan PP No. 64 Tahun 2021 guna menjamin ketersediaan tanah bagi pembangunan, termasuk PSN. Penelitian ini mengkaji tiga fokus utama: (1) problematika normatif pengaturan pengadaan tanah dan penyelesaian konflik agraria oleh Bank Tanah; (2) pelaksanaan hukum, tantangan operasional, dan pembiayaan Bank Tanah; serta (3) konsep ideal Bank Tanah berlandaskan keadilan agraria dan keberlanjutan. Metode yang digunakan adalah normatif-empiris dengan studi kasus pada pelibatan Bank Tanah dalam pengadaan tanah Ibu Kota Negara (IKN) dan konflik redistribusi tanah di Batulawang. Data dihimpun melalui wawancara aktor kunci serta telaah regulasi dan dokumen relevan. Hasil penelitian menunjukkan perlunya optimalisasi regulasi, penguatan peran Bank Tanah dalam mediasi konflik agraria, dan skema pembiayaan yang lebih berkelanjutan. Rancangan konsep ideal ini diharapkan mendorong tata kelola tanah yang akuntabel dan adil, sehingga Bank Tanah dapat menjadi instrumen strategis yang menyeimbangkan kebutuhan pembangunan nasional dengan perlindungan hak masyarakat.
Studi ini mengkaji kerangka regulasi dan kelembagaan yang memengaruhi implementasi megaproyek infrastruktur pengamanan pesisir di lima kota pesisir utara Jawa—Jakarta Utara, Semarang, Pekalongan, Cirebon, dan Demak—dalam konteks ketahanan bencana dan perubahan iklim. Wilayah pesisir Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis, seperti banjir rob, abrasi, dan intrusi air laut, akibat perubahan iklim dan pesatnya perkembangan perkotaan. Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia mencanangkan proyek strategis dalam RPJMN 2020-2024 yang mencakup pembangunan tanggul laut raksasa, sistem polder, dan jaringan drainase. Studi deskriptif-kualitatif ini menggunakan analisis dokumen sekunder serta data primer dari Focus Group Discussion (FGD) dan kunjungan lapangan pada periode September s.d. Oktober 2024. Lima kriteria utama, yaitu relevansi, koherensi, efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan, digunakan untuk menilai aspek regulasi dan kelembagaan. Hasil studi mengidentifikasi tantangan signifikan, terutama terkait kurangnya integrasi skema regulasi, ancaman penurunan muka tanah terhadap keberlanjutan proyek, dan ketidakjelasan pembagian peran pemangku kepentingan. Di sisi lain, peluang utama mencakup dukungan kebijakan nasional yang kuat, potensi kolaborasi multipihak, dan pelibatan masyarakat lokal secara aktif sebagai operator. Secara keseluruhan, proyek ini merupakan upaya komprehensif untuk meningkatkan kapasitas adaptif wilayah rentan. Keberhasilan jangka panjang bergantung pada penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan yang mendorong sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat guna menciptakan model pengelolaan pesisir yang adaptif dan berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia menunjukkan percepatan signifikan dalam satu dekade terakhir. Pemerintah, khususnya pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional. Dengan visi Indonesia-sentris, negara melaksanakan pembangunan infrastruktur secara masif dan merata, termasuk melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tersebar di penjuru Nusantara. Meskipun telah menghasilkan berbagai capaian penting, dinamika selama ini juga mengungkap sejumlah tantangan struktural yang berdampak pada belum optimalnya manfaat pembangunan infrastruktur bagi bangsa, negara, dan masyarakat. Oleh sebab itu, tulisan ini mengkaji secara kritis pelaksanaan PSN dengan menyoroti tiga masalah fundamental dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, yaitu perencanaan lintas sektoral, kapasitas institusional, dan transparansi. Pertama, perencanaan yang terfragmentasi serta lemahnya orkestrasi dan pengendalian menyebabkan ketidakselarasan dalam pembangunan nasional. Kedua, keterbatasan kapasitas institusional dalam menilai urgensi dan kelayakan proyek infrastruktur mengakibatkan munculnya proyek-proyek bermasalah. Ketiga, ketertutupan dalam pengambilan keputusan berujung pada minimnya partisipasi dan lemahnya akuntabilitas publik. Analisis dan rekomendasi dalam tulisan ini diharapkan menjadi pijakan untuk memperkuat tata kelola dan kebijakan pembangunan infrastruktur. Ke depan, pemerintah perlu mengambil langkah perbaikan struktural, mulai dari sinkronisasi perencanaan lintas sektoral melalui pendekatan berorientasi misi yang disertai pengendalian efektif, peningkatan kapasitas institusional untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti, serta penguatan transparansi terkait kebijakan, program, dan proyek infrastruktur. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur betul-betul dapat memberikan manfaat nyata sebagai lokomotif pertumbuhan dan kesejahteraan di Indonesia.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagai mode atau tata kelola pembangunan infrastruktur, atau Public-Private Partnership (PPP). Hal ini tercantum dalam sejumlah dokumen dan kebijakan negara sehingga menjadi proses yang legal dan sesuai dengan aturan hukum di Indonesia. Dalam dokumen Perpres KPBU, Perpres 38/2015, pelibatan masyarakat sipil diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhan layanan dengan mode KPBU. Namun, tidak dirinci lebih lanjut bentuk pelibatan masyarakat tersebut, termasuk aktor, kondisi, mekanisme, dan proses pelibatan masyarakat sipil dalam KPBU. Oleh sebab itu, riset ini diarahkan untuk memberikan model atau teori baru terkait dengan mode KPBU. Dengan melihat dari lensa tata kelola kolaboratif (collaborative governance), studi ini menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur dengan mode KPBU yang disertai keterlibatan warga terdampak atau end-users dalam pengawasan melalui collaborative governance dapat menjadi instrumen integrasi perencanaan dan implementasi pada tahapan pembentukan infrastruktur selanjutnya. Warga terdampak menjadi populasi utama yang dilibatkan agar program dapat tepat membidik target pencapaian, yakni pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan warga. Studi teoritis ini perlu diuji dengan studi empiris yang akan menganalisis bagaimana dan dalam kondisi seperti apa tata kelola kolaboratif dapat diterapkan dalam KPBU untuk menanggulangi korupsi dalam pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur publik yang inklusif merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari hak asasi manusia. Meskipun berbagai regulasi nasional, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Permen PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Kemudahan Bangunan Gedung, telah mengatur standar aksesibilitas, praktik di lapangan menunjukkan masih terbatasnya fasilitas yang benar-benar ramah bagi penyandang disabilitas. Berbagai ruang publik, seperti trotoar, halte, stasiun, bangunan pelayanan publik, hingga fasilitas pendidikan, masih ditemukan dengan desain yang tidak memenuhi prinsip universal design, mulai dari jalur landai yang tidak standar, penanda taktil yang terputus, peron yang tidak sejajar, hingga ketiadaan informasi audiovisual yang memadai. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan, implementasi teknis, dan efektivitas pengawasan. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat inklusivitas infrastruktur di ruang publik serta mengidentifikasi tantangan utama dalam penyediaan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Analisis difokuskan pada empat dimensi kunci, yaitu tata kelola kebijakan, kondisi eksisting, hambatan struktural, dan arah kebijakan masa depan. Temuan menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar ruang publik telah menyediakan fasilitas dasar, implementasinya masih belum konsisten dan sering kali bersifat simbolis. Tantangan utama meliputi keterbatasan anggaran adaptif, kurangnya kompetensi teknis perencana dan pelaksana infrastruktur, minimnya partisipasi kelompok disabilitas dalam proses perencanaan, serta lemahnya mekanisme audit dan pengawasan terhadap standar aksesibilitas. Penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah strategis: (1) memperkuat desain dan pengawasan berbasis universal design melalui standar teknis yang lebih rinci dan bersifat wajib; (2) memastikan partisipasi bermakna organisasi penyandang disabilitas sejak tahap perencanaan hingga evaluasi; (3) mengalokasikan anggaran khusus adaptasi aksesibilitas yang berkelanjutan; (4) menerapkan accessibility audit secara periodik dengan indikator terukur; serta (5) membangun integrasi data spasial aksesibilitas untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Dengan langkah tersebut, pembangunan ruang publik yang benar-benar inklusif dan setara bagi seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas, dapat lebih terwujud.
Tulisan ini mengkaji tanggung jawab keperdataan dalam proyek infrastruktur dengan studi kasus Jalan Tol MBZ (Mohammed Bin Zayed Elevated Toll Road), yang dalam beberapa tahun terakhir menghadapi persoalan teknis, termasuk dugaan ketidaksesuaian standar konstruksi serta isu keselamatan pengguna jalan. Bab ini membahas tiga isu pokok, yakni bagaimana bentuk wanprestasi dalam proyek tol, apakah ketidaksesuaian standar konstruksi dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban serta penyelesaian sengketa menurut peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif melalui analisis kontrak konstruksi, ketentuan hukum positif, dan doktrin tentang tanggung jawab keperdataan. Tulisan ini menegaskan bahwa kontrak konstruksi merupakan landasan utama yang menetapkan kewajiban para pihak, mulai dari pemenuhan standar mutu struktur jalan layang, keselamatan konstruksi, hingga aspek administratif dan pembiayaan proyek. Dalam konteks Jalan Tol MBZ, kegagalan memenuhi standar teknis, misalnya indikasi defleksi berlebih atau mutu konstruksi yang tidak optimal, dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam keadaan demikian, pihak yang dirugikan, baik pemberi tugas maupun instansi pemerintah sebagai pengawas proyek strategis nasional, berhak menuntut ganti kerugian. Di luar wanprestasi, konsep perbuatan melawan hukum menjadi relevan ketika kerugian diderita pengguna jalan atau masyarakat yang tidak memiliki hubungan kontraktual. Ketidaksesuaian standar keselamatan, kelalaian teknis, maupun risiko kecelakaan akibat cacat konstruksi, seperti pada kasus Jalan Tol MBZ, dapat menjadi dasar pertanggungjawaban dengan cakupan ganti rugi materiil dan immateriil. Menurut UUJK, penyedia jasa wajib memenuhi kualifikasi usaha, rekam jejak, kepatuhan terhadap standar teknis, dan tanggung jawab profesional. Tanggung jawab kontraktor meliputi masa pelaksanaan hingga masa pertanggungan dan dapat mencakup aspek perdata, pidana, maupun administratif. Dalam konteks penyelesaian sengketa konstruksi, mekanisme litigasi dan nonlitigasi dapat ditempuh. Mekanisme nonlitigasi, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase, lebih diutamakan karena sesuai dengan prinsip efisiensi, kebutuhan keahlian teknis, dan kepastian hukum dalam proyek infrastruktur berskala besar.
Pemanfaatan geothermal melalui PLTP Ulumbu sebagai energi hijau merupakan salah satu terobosan penting untuk mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan. Namun, pendekatan kepada masyarakat yang kurang tepat dapat menghambat pembangunan dan pemanfaatan geothermal. Hal ini terjadi di PLTP Ulumbu, di mana minimnya pendekatan dialogis menyebabkan masyarakat menganggap PLTP Ulumbu dapat merugikan mereka. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menganalisis peraturan serta kebijakan hukum yang berkontribusi terhadap pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur energi terbarukan geothermal di PLTP Ulumbu, menganalisis keterlibatan dan sinergitas antarpemangku kepentingan (stakeholder), serta menemukan akar permasalahan konflik sosial di PLTP Ulumbu dan penanganan konflik berdasarkan hukum adat dan hukum nasional. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris dengan pendekatan sosiologi hukum dan peraturan perundang-undangan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Data dianalisis dengan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur energi panas bumi (geothermal) di PLTP Ulumbu bertumpu pada peraturan dan kebijakan seperti Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; UU Nomor 21 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023; UU Nomor 32 Tahun 2009; UU Nomor 2 Tahun 2012; dan Perpres Nomor 4 Tahun 2016. Selain itu, upaya untuk mewujudkan transisi energi secara tepat memerlukan koordinasi dan sinergitas dengan pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, antara lain dalam penetapan wilayah kerja panas bumi. Koordinasi dan sinergitas juga perlu dilakukan dengan tokoh adat dan warga. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konflik sosial dipicu oleh rencana perluasan kawasan PLTP Ulumbu serta kekhawatiran masyarakat terhadap dampak negatif panas bumi. Oleh sebab itu, pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh adat, dan masyarakat perlu menempuh beberapa pendekatan, baik berbasis hukum adat maupun hukum nasional. Salah satu pendekatan penyelesaian konflik berdasarkan hukum adat adalah melalui lonto leok.
Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api Makassar–Parepare merupakan salah satu proyek infrastruktur strategis yang memperlihatkan kompleksitas tata kelola ketika pembiayaan, pengadaan, dan operasi melibatkan aktor dari pusat, daerah, dan swasta. Proyek ini didanai dari beberapa sumber, yaitu APBD, APBN (Rupiah Murni dan SBSN Proyek), serta Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), sehingga menjadi contoh konfigurasi blended finance dan penerapan model multioperator pasca dibukanya rezim nonmonopoli perkeretaapian. Artikel ini mengkaji dinamika tersebut melalui dua pendekatan, yaitu Asset Life Cycle Management (ALCM) untuk mengidentifikasi aktor, peran masing-masing, dan tantangan pengelolaan aset sepanjang siklus hidupnya, serta kerangka collaborative governance untuk memahami bagaimana interaksi antaraktor memengaruhi efektivitas penyelenggaraan proyek. Hasil analisis menunjukkan bahwa tahapan ALCM telah berjalan, namun belum terhubung secara menyeluruh. Analisis kebutuhan dan perencanaan dilakukan melalui dokumen sektoral, tetapi integrasi antara biaya, risiko, dan kinerja sepanjang siklus hidup aset masih terbatas. Pada tahap pengadaan dan operasional, terlihat bahwa fragmentasi sumber pembiayaan, perbedaan mandat kelembagaan, ketimpangan kapasitas teknis, serta isu pencatatan dan pemanfaatan aset menimbulkan tantangan koordinasi yang signifikan. Melalui kerangka tata kelola kolaboratif, penelitian ini merekam bagaimana kepemimpinan lintas lembaga, insentif kinerja seperti Availability Payment, saling ketergantungan multioperator, serta ketidakpastian lahan dan isu teknis menjadi pendorong utama kolaborasi. Dinamika ini menghasilkan tindakan kolektif seperti penyesuaian segmen proyek, pembentukan BPKA SS, penguatan koordinasi operasional melalui PKOC, serta pemanfaatan Joint Monitoring Committee untuk pengawasan pascaoperasional. Akhirnya, artikel ini menggarisbawahi bahwa keberhasilan pengelolaan aset infrastruktur publik tidak cukup hanya mengandalkan aspek teknis, tetapi juga membutuhkan tata kelola kolaboratif yang konsisten, kejelasan peran, forum deliberatif lintas pemangku kepentingan, serta mekanisme evaluasi kinerja terintegrasi hingga pascaoperasional. Pembelajaran dari proyek Makassar–Parepare ini relevan bagi perumusan kebijakan kelembagaan pada proyek infrastruktur strategis lain yang menerapkan pendanaan campuran dan model multioperator.
Ditulis oleh Anton Abdul Fatah, Muhammad Jibril, Richo Andi Wibowo, Mahaarum Kusuma Pertiwi, Fariza Astriny, Diva Muhammad Alfirman, Oksita Putrining Yansri, Muhammad Bagus Alfian, Putrida Sihombing, Hesa Adrian Kaswanda, Muchamad Irham Fathoni, Akbar Saputra, Achmad Sofwan, Muchlis Ahmad Tri Setiawan, Nigel Abdullah, Damara Lutfiah Irawan, Poppy Hairunnisa, Aji Baskoro, Nurrohman Wijaya, Mas Muhammad Gibran Sesunan, Nabiyla Risfa Izzati, Agus Sarwono, Amanda Tan, Denny Iswanto, Herliana, Mary Grace Megumi Maran, Dian Handayani, Anak Agung Ayu Vira Sonia