Tulisan ini mengkaji tanggung jawab keperdataan dalam proyek infrastruktur dengan studi kasus Jalan Tol MBZ (Mohammed Bin Zayed Elevated Toll Road), yang dalam beberapa tahun terakhir menghadapi persoalan teknis, termasuk dugaan ketidaksesuaian standar konstruksi serta isu keselamatan pengguna jalan. Bab ini membahas tiga isu pokok, yakni bagaimana bentuk wanprestasi dalam proyek tol, apakah ketidaksesuaian standar konstruksi dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban serta penyelesaian sengketa menurut peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif melalui analisis kontrak konstruksi, ketentuan hukum positif, dan doktrin tentang tanggung jawab keperdataan. Tulisan ini menegaskan bahwa kontrak konstruksi merupakan landasan utama yang menetapkan kewajiban para pihak, mulai dari pemenuhan standar mutu struktur jalan layang, keselamatan konstruksi, hingga aspek administratif dan pembiayaan proyek. Dalam konteks Jalan Tol MBZ, kegagalan memenuhi standar teknis, misalnya indikasi defleksi berlebih atau mutu konstruksi yang tidak optimal, dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam keadaan demikian, pihak yang dirugikan, baik pemberi tugas maupun instansi pemerintah sebagai pengawas proyek strategis nasional, berhak menuntut ganti kerugian. Di luar wanprestasi, konsep perbuatan melawan hukum menjadi relevan ketika kerugian diderita pengguna jalan atau masyarakat yang tidak memiliki hubungan kontraktual. Ketidaksesuaian standar keselamatan, kelalaian teknis, maupun risiko kecelakaan akibat cacat konstruksi, seperti pada kasus Jalan Tol MBZ, dapat menjadi dasar pertanggungjawaban dengan cakupan ganti rugi materiil dan immateriil. Menurut UUJK, penyedia jasa wajib memenuhi kualifikasi usaha, rekam jejak, kepatuhan terhadap standar teknis, dan tanggung jawab profesional. Tanggung jawab kontraktor meliputi masa pelaksanaan hingga masa pertanggungan dan dapat mencakup aspek perdata, pidana, maupun administratif. Dalam konteks penyelesaian sengketa konstruksi, mekanisme litigasi dan nonlitigasi dapat ditempuh. Mekanisme nonlitigasi, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase, lebih diutamakan karena sesuai dengan prinsip efisiensi, kebutuhan keahlian teknis, dan kepastian hukum dalam proyek infrastruktur berskala besar.
Ditulis oleh Anton Abdul Fatah, Muhammad Jibril, Richo Andi Wibowo, Mahaarum Kusuma Pertiwi, Fariza Astriny, Diva Muhammad Alfirman, Oksita Putrining Yansri, Muhammad Bagus Alfian, Putrida Sihombing, Hesa Adrian Kaswanda, Muchamad Irham Fathoni, Akbar Saputra, Achmad Sofwan, Muchlis Ahmad Tri Setiawan, Nigel Abdullah, Damara Lutfiah Irawan, Poppy Hairunnisa, Aji Baskoro, Nurrohman Wijaya, Mas Muhammad Gibran Sesunan, Nabiyla Risfa Izzati, Agus Sarwono, Amanda Tan, Denny Iswanto, Herliana, Mary Grace Megumi Maran, Dian Handayani, Anak Agung Ayu Vira Sonia