Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api Makassar–Parepare merupakan salah satu proyek infrastruktur strategis yang memperlihatkan kompleksitas tata kelola ketika pembiayaan, pengadaan, dan operasi melibatkan aktor dari pusat, daerah, dan swasta. Proyek ini didanai dari beberapa sumber, yaitu APBD, APBN (Rupiah Murni dan SBSN Proyek), serta Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), sehingga menjadi contoh konfigurasi blended finance dan penerapan model multioperator pasca dibukanya rezim nonmonopoli perkeretaapian. Artikel ini mengkaji dinamika tersebut melalui dua pendekatan, yaitu Asset Life Cycle Management (ALCM) untuk mengidentifikasi aktor, peran masing-masing, dan tantangan pengelolaan aset sepanjang siklus hidupnya, serta kerangka collaborative governance untuk memahami bagaimana interaksi antaraktor memengaruhi efektivitas penyelenggaraan proyek. Hasil analisis menunjukkan bahwa tahapan ALCM telah berjalan, namun belum terhubung secara menyeluruh. Analisis kebutuhan dan perencanaan dilakukan melalui dokumen sektoral, tetapi integrasi antara biaya, risiko, dan kinerja sepanjang siklus hidup aset masih terbatas. Pada tahap pengadaan dan operasional, terlihat bahwa fragmentasi sumber pembiayaan, perbedaan mandat kelembagaan, ketimpangan kapasitas teknis, serta isu pencatatan dan pemanfaatan aset menimbulkan tantangan koordinasi yang signifikan. Melalui kerangka tata kelola kolaboratif, penelitian ini merekam bagaimana kepemimpinan lintas lembaga, insentif kinerja seperti Availability Payment, saling ketergantungan multioperator, serta ketidakpastian lahan dan isu teknis menjadi pendorong utama kolaborasi. Dinamika ini menghasilkan tindakan kolektif seperti penyesuaian segmen proyek, pembentukan BPKA SS, penguatan koordinasi operasional melalui PKOC, serta pemanfaatan Joint Monitoring Committee untuk pengawasan pascaoperasional. Akhirnya, artikel ini menggarisbawahi bahwa keberhasilan pengelolaan aset infrastruktur publik tidak cukup hanya mengandalkan aspek teknis, tetapi juga membutuhkan tata kelola kolaboratif yang konsisten, kejelasan peran, forum deliberatif lintas pemangku kepentingan, serta mekanisme evaluasi kinerja terintegrasi hingga pascaoperasional. Pembelajaran dari proyek Makassar–Parepare ini relevan bagi perumusan kebijakan kelembagaan pada proyek infrastruktur strategis lain yang menerapkan pendanaan campuran dan model multioperator.
Ditulis oleh Anton Abdul Fatah, Muhammad Jibril, Richo Andi Wibowo, Mahaarum Kusuma Pertiwi, Fariza Astriny, Diva Muhammad Alfirman, Oksita Putrining Yansri, Muhammad Bagus Alfian, Putrida Sihombing, Hesa Adrian Kaswanda, Muchamad Irham Fathoni, Akbar Saputra, Achmad Sofwan, Muchlis Ahmad Tri Setiawan, Nigel Abdullah, Damara Lutfiah Irawan, Poppy Hairunnisa, Aji Baskoro, Nurrohman Wijaya, Mas Muhammad Gibran Sesunan, Nabiyla Risfa Izzati, Agus Sarwono, Amanda Tan, Denny Iswanto, Herliana, Mary Grace Megumi Maran, Dian Handayani, Anak Agung Ayu Vira Sonia