Pembangunan infrastruktur publik yang inklusif merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari hak asasi manusia. Meskipun berbagai regulasi nasional, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Permen PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Kemudahan Bangunan Gedung, telah mengatur standar aksesibilitas, praktik di lapangan menunjukkan masih terbatasnya fasilitas yang benar-benar ramah bagi penyandang disabilitas. Berbagai ruang publik, seperti trotoar, halte, stasiun, bangunan pelayanan publik, hingga fasilitas pendidikan, masih ditemukan dengan desain yang tidak memenuhi prinsip universal design, mulai dari jalur landai yang tidak standar, penanda taktil yang terputus, peron yang tidak sejajar, hingga ketiadaan informasi audiovisual yang memadai. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan, implementasi teknis, dan efektivitas pengawasan. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat inklusivitas infrastruktur di ruang publik serta mengidentifikasi tantangan utama dalam penyediaan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Analisis difokuskan pada empat dimensi kunci, yaitu tata kelola kebijakan, kondisi eksisting, hambatan struktural, dan arah kebijakan masa depan. Temuan menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar ruang publik telah menyediakan fasilitas dasar, implementasinya masih belum konsisten dan sering kali bersifat simbolis. Tantangan utama meliputi keterbatasan anggaran adaptif, kurangnya kompetensi teknis perencana dan pelaksana infrastruktur, minimnya partisipasi kelompok disabilitas dalam proses perencanaan, serta lemahnya mekanisme audit dan pengawasan terhadap standar aksesibilitas. Penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah strategis: (1) memperkuat desain dan pengawasan berbasis universal design melalui standar teknis yang lebih rinci dan bersifat wajib; (2) memastikan partisipasi bermakna organisasi penyandang disabilitas sejak tahap perencanaan hingga evaluasi; (3) mengalokasikan anggaran khusus adaptasi aksesibilitas yang berkelanjutan; (4) menerapkan accessibility audit secara periodik dengan indikator terukur; serta (5) membangun integrasi data spasial aksesibilitas untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Dengan langkah tersebut, pembangunan ruang publik yang benar-benar inklusif dan setara bagi seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas, dapat lebih terwujud.
Ditulis oleh Anton Abdul Fatah, Muhammad Jibril, Richo Andi Wibowo, Mahaarum Kusuma Pertiwi, Fariza Astriny, Diva Muhammad Alfirman, Oksita Putrining Yansri, Muhammad Bagus Alfian, Putrida Sihombing, Hesa Adrian Kaswanda, Muchamad Irham Fathoni, Akbar Saputra, Achmad Sofwan, Muchlis Ahmad Tri Setiawan, Nigel Abdullah, Damara Lutfiah Irawan, Poppy Hairunnisa, Aji Baskoro, Nurrohman Wijaya, Mas Muhammad Gibran Sesunan, Nabiyla Risfa Izzati, Agus Sarwono, Amanda Tan, Denny Iswanto, Herliana, Mary Grace Megumi Maran, Dian Handayani, Anak Agung Ayu Vira Sonia