Meningkatnya minat masyarakat dan perhatian pemerintah terhadap moda transportasi Kereta Api (KA) menuntut adanya kebijakan pembiayaan yang lebih adil dan efisien, khususnya terkait Track Access Charge (TAC). TAC merupakan biaya yang dibebankan kepada operator atas penggunaan jalur rel milik negara. Biaya ini kemudian digunakan untuk mendanai pemeliharaan, pengembangan, serta investasi prasarana KA. Namun dalam praktiknya, perhitungan TAC dinilai belum sepenuhnya adil karena tidak mempertimbangkan frekuensi pemakaian jalur dan tidak menerapkan prinsip pengurangan atas biaya operasional dan pemeliharaan (net-off). Belum adanya pemisahan yang jelas antara aset negara dan aset operator, seperti dalam kasus jalur KA Kertapati–Muara Enim, semakin memperumit tata kelola dan perhitungan pembiayaan TAC. Oleh sebab itu, kebijakan TAC perlu direformulasi dengan mempertimbangkan eksternalitas positif angkutan KA serta membedakan antara layanan KA komersial dan nonkomersial. Pemerintah juga harus mempromosikan secara aktif penggunaan KA untuk angkutan barang guna mengurangi beban jalan raya. Ke depan, pelibatan pihak swasta melalui skema Public-Private Partnership dapat menjadi opsi strategis untuk memperluas layanan KA, dengan tetap mengedepankan intervensi negara dalam penyediaan infrastruktur dasar, khususnya di wilayah-wilayah yang belum terjangkau dan terlayani dengan fasilitas perkeretaapian.
Ditulis oleh IIGF Institute