Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan skema strategis dalam penyediaan infrastruktur publik. Meski demikian, keberhasilannya sangat bergantung pada perencanaan dan alokasi risiko yang tepat. Studi kasus Terminal Bus Giwangan di Yogyakarta mengungkap kegagalan implementasi alokasi risiko dalam proyek KPS. Pemerintah Kota Yogyakarta telah menjalin kerja sama dengan pihak swasta untuk pembangunan dan pengelolaan terminal, tetapi gagal memenuhi proyeksi permintaan akibat lemahnya pengendalian terhadap terminal liar dan minimnya koordinasi antarpemerintah daerah. Akibatnya, investor mengalami kerugian besar hingga proyek dihentikan sebelum masa konsesi berakhir. Artikel ini menunjukkan bahwa risiko permintaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab publik tidak dikelola dengan baik. Kasus ini berbeda dengan apa yang terjadi di Terminal Amritsar dan Dehradun di India, di mana skema KPS cukup sukses diterapkan karena adanya komitmen pemerintah dalam menjamin trayek dan pengguna jasa terminal. Artikel ini merekomendasikan tiga langkah kebijakan untuk memperbaiki implementasi KPS di Indonesia: penguatan kerangka hukum alokasi risiko, fleksibilitas dalam renegosiasi kontrak, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia pemerintah dalam memahami dan mengelola dinamika kerja sama investasi. Tanpa reformasi tersebut, skema KPS berisiko merugikan kedua belah pihak dan gagal mencapai tujuan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
Ditulis oleh IIGF Institute