Kebutuhan energi listrik nasional terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, populasi, dan rasio elektrifikasi. Untuk mengatasi potensi krisis pasokan dan ketergantungan pada energi fosil, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuka peluang investasi sektor ketenagalistrikan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Studi kasus PLTU Batang menunjukkan bahwa partisipasi swasta dapat menjadi salah satu solusi strategis dalam pembangunan infrastruktur energi. Payung hukum yang mendukung hal ini antara lain UUD 1945 pasca-amandemen serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Kebijakan ini dapat membuka kran partisipasi investor, meskipun masih terdapat dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT PLN. Untuk menjamin keberlanjutan energi, pemerintah juga perlu mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan, khususnya panas bumi, yang memiliki potensi besar di Indonesia. Meski demikian, tantangan regulasi, sentralisasi peran PLN, dan kurangnya kompetisi masih menjadi hambatan utama. Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, pemerintah perlu mereformulasi kebijakan desentralisasi ketenagalistrikan berbasis otonomi daerah sebagaimana diatur dalam pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Penguatan regulasi dan amandemen undang-undang secara menyeluruh menjadi prasyarat untuk menciptakan iklim investasi yang sehat, adil, dan efisien. Dengan langkah ini, Indonesia dapat meningkatkan ketahanan energi sekaligus mengundang lebih banyak investasi swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Ditulis oleh IIGF Institute